Senin, 24 November 2008

PILKADA DAN KEDEWASAAN BERPOLITIK

PILKADA DAN KEDEWASAAN BERPOLITIK
Oleh : Koko Haryanto, S.IP
(Alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Belitung merupakan pilkada pertama yang akan memberikan pembelajaran politik bagi segenap elit yang bertarung dan masyarakat yang memilih. Kedewasaan dalam menentukan strategi pemenangan yang sehat terkadang tergadaikan oleh ambisi untuk meraih kekuasaan. Padahal pilkada adalah sebuah proses untuk memberikan pendidikan politik yang bersih bagi masyarakat oleh karena partisipasi pemilih diibaratkan seperti “tangan tuhan” yang memiliki peranan penting dalam menentukan sebuah kemenangan.
Etika Kampanye
Menang kalah dalam sebuah pertarungan adalah hal yang sudah biasa. Namun dalam proses pencapaian kemenangan itu sering bermasalah ketika etika, norma dan moral sudah tidak dikedepankan lagi. Hujatan, hasutan dan fitnah dan kampanye hitam lainnya yang bertebaran di masyarakat seakan telah banyak mewarnai pilkada di Belitung kali ini. Tentu dalam politik segala macam cara bisa dilakukan demi mencapai sebuah tujuan. Namun politik mesti berpihak kepada kebenaran. Tentu masyarakat yang akan memberikan penilaiannya. Politik dianggap kotor oleh karena elit yang bermain dengan cara kotor, sehingga kualitas demokrasi ternodai oleh elit yang bertarung secara tidak fair.
Jika masyarakat mencerna dengan baik, sudah barang tentu segala macam bentuk provokasi menjadi tidak begitu efektif. Namun bagaimana kondisi masyarakat di Belitung saat ini yang masih belum mapan dalam berdemokrasi dan berpolitik. Instrument politik terkadang belum menyentuh bagaimana cara masyarakat melakukan filterisasi dalam menyikapi isu-isu yang mendeskreditkan pihak lain. Sulit mendeteksi dari mana isu-isu tersebut muncul karena ada pihak-pihak yang mencoba menyalakan api dan mereka sendiri yang memadamkannya oleh karena tidak ada pihak lain (dalam harapan mereka) yang memadamkan api itu.
Kampanye yang tidak sehat adalah kampanye yang mengorek masa lalu orang lain, sehingga masyarakat tidak begitu paham apa sebetulnya yang akan mereka perbuat bila terpilih. Kampanye hendaklah dengan menyampaikan sesuatu yang menjadi keunggulan bagi setiap pasangan yang dapat menyakinkan masyarakat untuk memberikan dukungan. melalui kampanye yang demikian telah dengan jelas ingin mengajak orang lain untuk saling membenci. Tentu ini telah mencemari dan merusak moral masyarakat dan pembodohan politik.
Kreatifitas hendaklah dikembangkan dalam strategi kampanye tanpa menyinggung dan menjelekkan pihaik lain. Dengan demikian, masyarakat telah diajak untuk berpikir bagaimana masa depan daerahnya dan apa pula yang akan mereka lakukan untuk mendukung pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah daerah pasca pilkada. Kemenangan tidak mesti ditempuh dengan cara yang licik atau jahat. Kemenangan hendaklah terhormat dan mendapatkan legitimasi yang maksimal dari masyarakat. Dengan demikian pemimpin yang terpilih nantinya dapat menjalankan tugasnya bersama masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang telah dicita-citakan bersama.
Incumbent VS Independent
Pilkada di Belitung kali ini menarik untuk dicermati karena diantara calon-calon yang diusung terdapat 2 pasang calon independent dan 2 pasang calon incumbent yang kedua-duanya menjadi calon Bupati. Pertarungan yang akan terjadi dalam pilkada ini adalah incumbent versus independent. Dari banyak pilkada di tanah air, independent telah banyak yang memenangkan pilkada bila calon incumbent yang bertarung tidak memiliki kemajuan dalam memimpin daerahnya pada periode sebelumnya. Namun bila incumbent telah banyak berbuat nyata dan dirasakan oleh masyarakat maka tidak ada celah bagi independent untuk menjadi pemenang.
Indepanden bisa memenangkan pertarungan politik dalam pilkada bila ia adalah seorang tokoh local lintas generasi dan lintas partai. Ia begitu dihormati dan semua orang mengenalnya dalam waktu yang cukup lama. Bila independent hanya muncul disaat pilkada saja maka, incumbent tak akan mendapatkan simpati di tengah masyarakat. ditambah lagi belum banyak yang diperbuat oleh tokoh tersebut untuk kemajuan masyarakat. masyarakat cenderung ingin tetap melanjutkan kepemimpinan periode sebelumnya bila telah dirasakan kemajuannya. Maka jangan berharap banyak independen akan menjadi pemenang bila ia bukanlah siapa-siapa di daerah yang bersangkutan. Apalagi ia begitu dekat hanya menjelang pilkada saja.tentu masyarakat tidak akan banyak tertarik untuk memilihnya.
Dalam situasi politik sekarang ini, setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin. Namun tidak mudah untuk mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang kita perintahkan. Masyarakat sudah memiliki kemandirian dan hati nurani sendiri dalam menentukan sikap politik. Jangan sampai tergoda oleh bujuk rayu yang belum jelas sumbernya. Masyarakat jangan hanya dijadikan objek politik yang menjadi bulan-bulanan untuk menyerap isu negative yang menjadikan demokrasi menjadi mundur. Akibatnya, dalam pikiran masyarakat akan tertanam virus kebencian, hasutan dan gunjingan yang sudah jelas dilarang oleh agama.
Masyarakat ingin realistis saja dalam mewujudkan cita-citanya. Jangan sampai ada harapan dan angan-angan yang belum jelas untuk didapatkan. Resiko politik akan menimpa masyarakat bila angan-angan itu hanyalah sebuah mimpi yang tak berkesudahan. Pilkada hendaklah menjadi barometer politik yang akan mengukur tingkat kualitas berdemokrasi. Sudahkah kita dewasa dalam bersikap ataukan hanya propaganda yang menyesatkan rakyat banyak. Semoga pilkada kali ini akan menjadi awal kemajuan dalam tatanan politik yang lebih mengedepankan kebersamaan, persaudaraan dan kedamaian.

Tidak ada komentar: