Senin, 24 November 2008

LASKAR PELANGI DAN REALITAS MASYARAKAT BELITUNG

LASKAR PELANGI DAN REALITAS MASYARAKAT BELITUNG
Oleh : Koko Haryanto, S.IP*

Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Ny. Any Yudhoyono, sejumlah menteri. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung H. Eko Maulana Ali terkagum-kagum seusai menonton film Laskar Pelangi (LP) yang diangkat dari novel laris karya putra Belitung, Andrea Hirata pada hari Kamis (8/10) di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta.(Pos Belitung, 10/10)
Film yang digarap oleh seneas muda Riri Reza dan Mira Lesmana itu dikatakan sebagai puncak kebangkitan perfilman Indonesia. Beberapa waktu lalu, Presiden SBY juga terkagum atas pemutaran Film Naga Bonar 2 dan Ayat-Ayat Cinta (ACC). Di tengah kesibukannya, ia masih meluangkan waktu untuk menyaksikan ketiga film tersebut bersama para menterinya itu. Lalu apa makna dibalik pemutaran film Laskar Pelangi yang sejak pemutaran perdananya sudah hampir ditonton oleh 2 Juta penonton. Adakah terpikirkan oleh para penonton bagaimana kondisi dan realitas kehidupan masyarakat di Belitung pada saat ini? Bagaimana pula reaksi masyarakat Belitung mendengar karya sastra putra daerahnya difilmkan dan berhasil memukau jutaan penonton di tanah air ini?
Kebangkitan Perfilman Indonesia
Tentu tidak ada yang salah bagi para penikmat dan pengemar dunia perfilman saat ini. Agak sulit mendefinisikan istilah ‘kebangkitan dunia perfilman’ bagi masyarakat awam karena masyarakat hanya mengukur dari menarik atau tidaknya sebuah film dan banyak atau tidaknya penonton yang menyaksikan. Memang ketiga film ini telah berhasil ditonton jutaan penonton, tidak seperti pada film-film lainnya yang beredar di bioskop. Apalagi hal itu ditanyakan kepada masyarakat Belitung, kemungkinan mereka hanya mangut-mangut saja, lantaran menyaksikannya saja masih sebuah mimpi. Di daerah ini, tempat pemutaran film saja masih belum tersedia, kalaupun ada pertunjukan film, itu biasa digelar dilapangan terbuka. Daerah yang kaya akan hasil timah ini belum memiliki bioskop seperti di kota-kota besar di tanah air ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya sebagai masyarakat Belitung, Cerita yang telah ditulis oleh Andrea Hirata dalam Novel Laskar Pelangi bukan suatu yang fenomenal bagi masyarakat di Belitung. Oleh karena kondisi pada saat itu hampir dirasakan oleh masyarakat yang ada di Pulau Belitung. Keangkuhan sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak karyawan PN Timah sudah menjadi rahasia umum. Garis marginalisasi kehidupan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan politik serta social budaya begitu jelas dirasakan. Hanya saya merasa salut atas kreatifitas Andrea Hirata dalam menuturkannya melalui sebuah novel Tetralogi Laskar Pelangi. Hampir semua sastrawan salut dengan gaya penuturan Andrea dalam LP yang belum ditemukan pada novel-novel lainnya. Apalagi sebelumnya, nama Andrea Hirata belum pernah dikenal oleh sastrawan di tanah air ini sebagai seorang novelis.
Kalau kita mengamati film ini, kita dapat menghubungkannya dengan kontek dan realitas masyarakat Belitung saat ini. Dalam catatan produksi resmi film Laskar Pelangi, Substansi film yang digaraf Riri Reza ini yang berupa keajaiban mimpi, marginalisasi masyarakat dan ironi dunia pendidikan masih terlihat serba tanggung (Kompas, 28/9). Sehingga setiap bagian tidak selalu ditampilkan secara utuh, ada kesan masih terpotong-potong dimana porsi setiap karakter tokoh kurang memadai, khususnya bagi tokoh Ikal sebagai sentral keajaiban mimpi. Begitu juga dengan kegigihan dan perjuangan Lintang yang kurang begitu ditampilkan secara utuh.
Realitas Masyarakat Belitung
Bagaimanakan masyarakat Belitung merespon kehadiran Film ini? Masyarakat daerah sepertinya kurang begitu bersemangat untuk membicarakan fenomena film LP tersebut. Jika orang di kota menggebu-gebu untuk antri berhari-hari untuk mendapatkan tiket, maka masyarakat Belitung sedang dipusingkan dengan anjloknya harga timah yang begitu drastic akibat krisis keuangan ekonomi global. Kini, masyarakat penambang timah tidak bisa mengoperasikan usahanya karena biaya produksi semakin mahal tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Perekonomian masyarakat di Belitung sudah sedemikian lama berketegantungan dengan mineral bijih timah. Sejak PT Timah terancam bangkrut dengan mem-PHK ribuan karyawannya, masyarakat hanya memanfaatkan bekas galian areal pertambangan milik PT Timah untuk mencari bijih timah yang masih tertinggal secara tradisional atau Tambang Inkonvensional (TI).
Sungguh dilematis kondisi masyarakat di Pulau Belitung saat ini, sementara sector usaha lain yang lebih menjanjikan belum tersedia. Kehadiran lapangan kerja baru hanya sebagai keajaiban mimpi, seperti halnya keajaiban di dalam novel Laskar Pelangi. Namun sang penulis bisa berbangga hati karena mimpi itu telah menjadi nyata, tidak seperti ribuan karyawan timah yang menanti keajaiban mimpi kejayaan PT Timah untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di Pulau Belitung. Ditambah lagi penderitaan para mantan karyawan PT Timah (PMKT) yang menunggu uang pesangon akibat PHK beberapa tahun lalu yang tidak kunjung dicairkan.
Sebagai masyarakat Belitung yang menginginkan kemajuan, berharap kehadiran film ini bukan sekadar tontonan bagi masyrakat di Ibu Kota. Masyarakat Belitung menunggu manfaat yang akan dihasilkan dari promosi Pulau Belitung melalui film ini yang sering dihembuskan oleh banyak pihak. Akankah sector wisata di Bumi Laskar Pelangi ini akan semakin membaik. Jangan sampai tontonan ini akan semakin mempertontonkan penderitaan masyarakat Belitung untuk masa yang akan datang. Semoga perubahan akan terwujud secara nyata dan bukan sebuah agenda komersialisme yang kurang memberikan pembelajaran bagi realitas kehidupan dan dunia perfilman saat ini. Meskipun masyarakat belum menyaksikan film ini, semoga untuk film-film yang akan diproduksi di Pulau Belitung nantinya bisa diputar untuk pertama kali di Pulau dimana film itu dibuat. Sehingga masyarakat bisa mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ‘kebangkitan dunia perfilman’ itu.
Sudah cukup masyarakat di Pulau Belitung dimarginalkan dari perkembangan tehnologi modern saat ini. Pendidikan sebagai inti dari pesan film ini semoga menjadi inspirasi banyak orang, termasuk pemerintah pusat dan daerah untuk bersinergi jangan sampai memperpanjang daftar sekolah yang telah digambarkan dalam film Laskar Pelangi. Focus pemerintah dalam menyelesaikan carut-marut pendidikan semoga dapat terlihat setelah Presiden SBY dan beberapa menterinya menyaksikan film ini. Jangan hanya sekadar kagum saja, namum mari berbuat nyata untuk ‘kebangkitan dunia pendidikan’ di tanah air yang tercinta ini.
*Penulis tinggal di Dsn. Burung mandi, Kab. Belitung Timur, Babel, Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar: