Senin, 24 November 2008

PERMENDAG 19/2007 YANG SALAH SASARAN

PERMENDAG 19/2007 YANG SALAH SASARAN
Oleh : Koko Haryanto, S.IP*
(Alumni Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Akhir-akhir ini, masyarakat dan Pemerintah Babel menuai masalah yang serius oleh aturan yang ditandatangani oleh Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, yang membolehkan penjualan bijih timah antar pulau melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 19 Tahun 2007 yang ditandatangani 30 April 2007. Aturan Permendag ini dikeluarkan setelah sebelumnya diberlakukan larangan ekspor untuk komoditi ini.
Pemerintah Provinsi Babel bersama Pansus 5 DPRD sudah sepakat untuk menggugat pemerintah pusat agar keputusan tersebut yang mengatur perdagangan timah antar pulau segera dicabut (Pos Belitung, 11/10). Komitmen pemerintah provinsi sebetulnya sudah beberapa bulan yang lalu sejak peraturan ini diberlakukan untuk ditinjau ulang. Akan tetapi dalam tahap peninjauan ulang tersebut, perdagangan timah antar pulau sudah beberapa kali terjadi, seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Belitung Timur beberapa bulan yang lalu. Namun belum ada nada protes dari wakil rakyat di Kabupaten yang baru saja dimekarkan ini.
Wajar saja bila pemerintah provinsi dan DPRD provinsi tidak sepakat akan pemberlakukan peraturan tersebut, oleh karena aturan ini lebih banyak ruginya daripada keuntungannya yang didapat oleh masyarakat daerah. Menyangkut persoalan royalti dari perdagangan ini juga tidak jelas, karena royalti bagi daerah hanya diperoleh dari penjualan biji timah dalam bentuk batangan. Belum lagi soal kerusakan lingkungan yang diderita oleh daerah karena banyak perusahaan diluar daerah yang memaksakan diri untuk memiliki kuasa pertambangan (KP) sebagai prasyarat untuk terjadinya perdagangan pasir timah antar pulau.
Resistensi atas Permendag 19/2007
Resistensi paling besar muncul dari pelaku industri pemurnian bijih timah di daerah, karena pasokan smelter (peleburan timah) mereka menjadi berkurang. Berkurangnya pasokan pasir timah ke smelter memunculkan kerugian menurunnya pendapatan dan sekaligus akan berimplikasi kepada tenaga kerja yang diperkerjakan. Sejak pemberlakukan aturan ini, tercatat sudah puluhan smelter tidak beroperasi dan pengangguran semakin meningkat. Tentu hal ini menjadi persoalan baru bagi daerah yang tidak terpikirkan oleh pemerintah pusat sebelumnya. Aturan yang sarat kepentingan bisnis tanpa melihat kondisi daerah akan semakin menyulitkan pemerintah daerah untuk mengatur cadangan pasir timah demi untuk kesejahteraan rakyat.
Memang pada dasarnya, ada pihak-pihak yang akan diuntungkan atas pemberlakukan aturan itu. Terutama kalangan pengusaha yang bermodal untuk menjual bijih timah dengan keuntungan yang cukup besar. Namun kondisi ini juga memicu kembali upaya penyeludupan yang masih marak terjadi di perairan Bangka Belitung. Bagi aparat penegak hukum, adanya legalitas atas penjualan pasir timah antar pulau telah menyulitkan upaya pengawasan karena semakin banyak pihak-pihak yang bermain mata. Bisa saja perdagangan itu terjadi dengan surat menyurat yang fiktif dan dipalsukan, tentu ini sangat bermasalah.
Seperti halnya yang telah terjadi di Kabupaten Beltim dengan melakukan perdangan pasir timah sebuah perusahaan di Surabaya dengan surat-menyurat dari pemerintah daerah melalui perizinan yang telah ditetapkan di dalam Permendag tersebut. Padahal pemberlakukan aturan ini masih dalam tahap peninjauan hukum (PH) atas permendag tersebut. Sangat disayangkan bila seorang pejabat Dinas Perdagangan Kabupaten sebagai penanggung jawab di tingkat Kabupaten berdasarkan Permendag 19/2007 pasal 1 butir 14 memberikan legalitas kepada perusahaan tersebut tanpa mempertimbangkan secara matang dan menunggu analisa yang tepat. Apalagi Gubernur Bangka Belitung, Ir. H. Eko Maulana Ali, M.Sc sedang menunggu peninjauan hukum atas peraturan menteri perdangangan tersebut. Begitu juga dengan anggota dewan Provinsi Babel yang menginginkan aturan itu ditinjau ulang. Tentunya, seorang kepala daerah di Kabupaten yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk tidak menjalankan aturan itu bila masih bermasalah, karena kepala daerah adalah wakil pemerintah pusat yang memiliki kewenangan mengatur daerahnya.
Perlu Peninjauan Hukum
Di Indonesia, peninjauan terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang tidak menjadi masalah (Pasal 26, UU No 14/1970, artinya MA boleh melakukannya. Hal ini menarik, karena kegiatan Mahkamah untuk melakukan peninjauan seperti itu, memiliki makna yang sangat penting. Dalam undang-undang tersebut, MA dapat menyatakan peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang sebagai tidak sah. Dengan demikian keberadaan Permendag 19/2007 dapat dicabut dan dibatalkan demi hukum. Menurut hemat saya, pemerintah pusat jangan mengatur soal perdagangan bijih timah antar pulau tersebut. Cukuplah pengaturan itu diserahkan ke daerah yang bersangkutan. Pemerintah pusat sudah cukup dengan mengeluarkan Permendag 04/2007 tentang Ekspor Timah Batangan.
Apalagi dalam implementasinya terdapat berbagai macam resistensi dan kerugian bagi perekonomian daerah. Pemerintah pusat tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah aturan, Negara ini berjalan dengan sistem desentralisasi bukan sentralisasi seperti dulu lagi. Kalau ini yang terjadi maka, makna otonomi daerah sudah tidak berarti lagi. Memberlakukan Permendag ini sama artinya dengan menjerumuskan perekonomian daerah, sementara selama ini daerah ini masih ketergantungan dengan SDA yang berupa bijih timah. Ada baiknya pemerintah memikirkan bagaimana membangun industri pengelolaan bijih timah di daerah ini yang bertaraf global.
Kita biasa menganggap remeh atau merendahkan jenis peninjauan yang demikian itu. Yaitu, terhadap peraturan rendahan. Orang menganggap, bahwa Peninjauan Hukum (PH) yang sebenernya adalah yang ditujukan terhadap undang-undang. Kita bisa mengerti pandangan itu, mengingat betapa besar pengaruh suatu undang-undang dibandingkan dengan peraturan yang lain yang lebih rendah. Tetapi, hanya terpaku pada PH jenis tersebut adalah suatu kesalahan yang tidak kecil. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh membiarkan masalah Permendag ini berlarut-larut. Tanpa melakukan analisa yang mendalam maka munculnya Permendag ini telah salah sasaran dan harus dikembalikan kepusat untuk dicabut.

Tidak ada komentar: